Hujan kembali berbaris dalam sunyi. Deru kaki hujan menghentak bumi
bersahutan, bergantian. Seperti penuh ancaman di atas kepala di denting-denting
atap rumah. Taman yang tadinya teduh. Terkuyup-kuyup dibasah hujan. Mawar-mawar
liar Nampak semakin cantik di balut
bintik-bintik hujan. Tanah basah kecoklatan.
Setapak aspal menghitam berkilat. Noda cat yang tadinya di sana-sini
sedikit-demi sedikit tersapu digelontor derasnya air dari arah bukit. Tubuh
pepohonan tak dapat lagi melawan keperkasaan hujan, kadang mereka ciut nyali
saat halilintar menyambar penuh kesombongan. Pohon seperti tunduk. Hanya
beringin besar ratusan tahun yang tetap tegak. Ia penuh wibawa,. Penuh
kharisma. Kesantunan dan pengalaman hidupnya mengumpamakan halilintar adalah
remaja pencari jati diri. Menggelegar, namun kembali hilang. Blarrr!!! Sinar
putih memendar di ubun-ubun beringin. Ia tetap perkasa. Ketuaan membuatnya
makin arif, laksana tersenyum menimpali gelora muda sang halilintar. Bahkan
batu-batu kecil seakan beriring mendekat, berkumpul dan meringkuk di kaki-kaki
beringin. Ibu gelombang bergerak seperti sontoloyo menggring bebek kembali
pulang. Gelombang membawa batu perbukitan, bergulir ke bawah dan berkumpul di
bawah beringin tua. Mereka siap dipeluk akar-akar yang menjuntai. Mereka siap
mendengar balada beringin nan tua.
***
Aku masih di sana.
Di antara selimut perca buatannya. Kubayangkan betapa dengan cinta
pembalut tubuhku kini menjadi.
Dengan susah payah ia pisahkan kain-kain sisa. Dengan telaten dipilihnya
motif-motif nan indah. Katanya suatu kali.
“Aku tahu, Kau penyuka motif yang tak berbentuk, namun aku sebaliknya.”
“Ehm” aku sibuk membaca.
“Namun aku akan menyertakan motif kesukaanku pula. Bunga-bunga,
tetumbuhan, dan segala ciptaan”
“Ehm” aku kembali meng-ehem.
“Kau mungkin takkan bertanya mengapa, namun aku akan beritahu kau, bahwa
aku mencintaimu”
Aku berhenti membaca, ku tinggalkan kursi malasku dan mendekatinya.
Kukecup keningnya. Harum. Langkahku kembali kepada kursi tua. Kubuka lipatan
Koran, dan kembali membacanya.
“Kau mungkin tak suka, namun aku yakin kau akan menyukainya, dan akan
lebih menyukainya manakala kau sendirian”
“Ehm” aku memandangnya sebentar dan kembali membaca.
“Akan kupadukan motif tak jelasmu dengan keindahan yang mempesonaku ini,
akan kubuat pembalut tubuh penuh cinta untukmu. Di setiap helai kain yang
kupasang, di setiap helai benang yang kusambungkan, di setiap warna yang
kutata, di sana ada kasihku padamu,
hingga bila kau mengenakannya pada yang lain akan Kau ingat aku saja”.
“Ehm” Kulihat ia menyambung helai-helai kain yang tak ku tahu berapa
jumlahnya. Mungkin ratusan, entahlah. Kaki-kaki indahnya, tertutup tumpukan
kain yang telah dipisahkannya. Ia mulai menyambung, gerakan jarinya gemulai.
Jarum kecil di antara jemarinya seperti telah hafal lubang-lubang kain mana
yang harus ia datangi. Singkat saja, telah terhampar selimut hangat setengah
jadi.
“Sudah pukul sembilan sekarang, para penjaga malam akan segera turun dari
langit, mereka akan segera mengitari bumi, dan memberikan berkahnya di
tiap-tiap rumah. Aku akan segerakan agar kau segera hangat.”
“Ehm” kubaca dua halaman terakhir. Terdengar gerigi mesin yang berputar.
Dari ujung kacamataku kulihat perempuan nan cantik dibalik kerudung coklat tua.
Matanya penuh cinta menggiring kain untuk menerima tusukan-tusukan kecil nan
tajam mata jarum. Kulipat lembaran terakhir. Tak kuselesaikan Koran hari ini.
Aku mendekat.
“Jangan mendekatiku. Aku akan merasa bersalah bila tak kuselesaikan malam
ini juga..” suaranya tegas.
“Jangan Kau paksakan, esok masih ada matahari, nan cerah yang lebih
terang untuk membantu mata indahmu menyelesaikannya. Jangan biarkan redup lilin
ini menyakiti berlian indah ku” aku berlutut di hadapan nya. Kuletakkan dagu di
balik mesin yang sedang berputar. Kutatap wajahnya lekat.
“Tidak, aku tak ingin membuang waktu. Lagi pun, aku tak perlu cahaya. Kau
cahaya ku. Selagi kau menemaniku, matahari pun tak lebih terang” ia terus
menggerakkan pedal dengan kaki kecil nya.
“Aku takkan kemana-mana, aku di sini..” sambil tak melepaskan tatapku
padanya. Satu kedipan mataku terasa sayang melewatkan gurat lembut pipinya.
Suara mesin tiba-tiba berhenti. Ia berhenti. Matanya beralih ke mataku.
Lembut. Jemari kecilnya mengelus pipi. Ia berjalan ke arahku tanpa melepaskan tatap.
Aku terkejut. Dihempaskannya tubuh di pangkuanku. Aku tersuruk menimpa
kain-kain dan benang yang masih berserakan di lantai. Jantungku berdegup.
“Kau bukan lagi remaja, mengapa Kau masih mendebarkan hatiku?”
“Ehm” ia mengecup kening ku.
“Mengapa Kau selalu indah?” Tanganku menengang lantai, menahan beban
tubuhnya.
“Kau tak suka barang-barang mu berantakan” aku berbisik dan mengelus
pipinya.
“Aku memang tak suka, tapi Kau bisa merapikannya untukku” kerudungnya
terbuka, tergerailah rambut panjang kecoklatan di atas bahunya. Ia memelukku.
Hangat.
“Aku suamimu, tentu aku akan merapikannya untukmu…”
Malaikat mengucap salam. Mereka tersenyum. Berkahnya terburai di
sepanjang pintu. Membaur ke dalam, dan
berhenti di selembar selimut setengah jadi. Malaikat sibuk menyulam, menitikkan
tetes cinta di tiap helai, sehelai benang, sejuta surga.
***
Bulir-bulir itu mengalir di antara mata tua ku. Mereka tertatih bergerak
di antara gurat senyumku. Namun sebelum bulir itu itu jatuh menimpa tubuhku.
Selimut tuaku telah menyesapnya.
Duhai isteriku, betapa cinta Kau
padaku, hingga tak Kau izinkan air mataku sendiri menetes di tubuhku.
Duhai kekasihku lelaplah Kau di
tidur panjangmu, bangunlah manakala aku merengkuh di sisi mu.
Duhai sahabatku, terima kasih Kau
ajarkan padaku, makna hidup dan teduh cinta mu, dengan itu ku arung waktu.
Duhai belahan jiwaku, telah panjang
kisah sendiriku, siapkah di pintu surga Kau menantiku?
***
Matahari tersenyum. Hujan hanya menyisakan rintiknya di dedaunan. Mawar
kembali menari mengibas rambutnya yang basah. Batu-batu masih terlelap.
Beringin tetap terjaga. Di balik jendela tua, lelaki tua bermimpi indah dalam
tidur panjangnya. Tersungging senyum di bibirnya dibalut selimut setengah jadi.
Wiar Wanti
Malang, Jumat, 18 Januari 2013
Pukul 08.45