30.4.23

Kunci Hidup, Berjalan di Atas Relnya


Selama hidup manusia selalu ditawarkan pada pilihan-pilihan. Pilihan yang menyenangkan, serta bisa juga menyesakkan menurut versi manusia. Banyak versi mengejutkan dan baru tentang kehidupan. 

Namun begitu menurut pakar filsafat, Dr. Fahrudin Faiz, harus ditekankan dua hal berikut agar dapat menjalani setiap pilihan-pilihan dalam kehidupan dengan penuh kesadaran .

1. Kemauan Berpikir

Setiap manusia dikaruniai akal dan budi untuk mengingat, memahami, dan menelaah sesuatu dan setiap peristiwa. Namun tidak semua menyadari, bahwa dirinya telah memaksimalkan kemauan dirinya dalam menjalani atau menekuni sesuatu.

2. Kemampuan Berpikir

Kemampuan berangkat dari kesungguhan manusia. Mau dan mampu saling terikat satu sama lain untuk membawa kenaikan dalam setiap pilihan hidup yang dipilih manusia. Karena mengerti itu sndiri penggunaannya hanya dengan otak dan alam bawah sadar manusia dalam mensugesti suatu keadaan agar bagaimana caranya hal tersebut bisa dicerna dalam otak.

Sementara memahami adalah bahasa yang penggunaannya lebih menggunakan perasaan dan kepekaan.


OPREC FLP Malang Raya 2023


FLP (Forum Lingkar Pena) adalah sebuah organisasi kepenulisan berasaskan Islam, bergerak di segala bidang yang berhubungan dengan kepenulisan dan pemberdayaan penulis. FLP berdiri pada tanggal 22 Februari 1997 di Kalimantan, diprakarsai oleh Helvi Tiana Rosa, Asma Nadia, dan Muthmainnah.


Kemudian hadirlah FLP Kota Malang yang secara lengkap dapat dijelajah di   dunia zie

13.4.23

6.4.23

Dialog Mati


Tembok membisu mengamini kehilanganku. Kehilangan sesuatu yang berharga, bukan harta, bukan tahta, bukan nyawa, tapi diriku. Ya, aku kehilangan sesuatuku yang paling berharga. Diriku.
Apakah kau yang merenggutnya? 

Bukan.

Apakah mereka?

Tidak juga.

Aku kehilangan diriku. Aku membunuhnya. Aku membunuhnya dalam keadaan hidup. Ya. Dengan penuh kekejian dan tanpa belas kasih kubunuh diriku dengan tanpa rasa. Ia berteriak minta tolong, tak kupedulikan. Ia meraih tanganku agar tak mendekap napasnya. Aku pun diam. Ia meronta menahan sakit, aku pun diam. Dia menggigil kedinginan, aku membiarkannya beku dan habis. Saat ia terbakar, kubiarkan ia membara hangus. Saat ia menangis tanpa suara, aku tertawa lepas sejadinya.

Ia tak salah. Tapi aku harus membunuhnya. Kadang kebenaran terlalu abu-abu untuk menjadi putih tertutup kelamnya arogansi manusia. Aku ingin menyelamatkan dirinya, tapi eksistensiku lebih penting. Maka tak kupedulikan lagi manusiamu. Maafkan aku, wahai diri. Kuhempaskan kau dalam kubangan terdalam bernama kepentingan manusia.

"Apa bedanya manfaat, bermanfaat, dan dimanfaatkan?"

Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam benakku. Menggerogoti napas dan nadiku. Menjejalkan maut ke dalam ruhku.

Aku tetap tertawa. Ribuan diri telah memasung takdir. Menguji dalam kelas dan fase paling fatamorgana. Dan aku baik-baik saja. Atau aku tak tahu sedang tidak baik-baik saja? Aku tertawa kembali. Namun tak ada yang mendengar tawaku. Hanya dia, diriku yang lain, yang terpuruk dalam cermin gelap dalam memori megabyte tanpa ujung.

Ia menangis sangat keras. Membuat bising telingaku. Hingga kututup daunnya dengan dua tanganku. Tak ada efek. Ia menangis terlalu kencang. Lalu berteriak melebihi sopran. Gendang telingaku bisa pecah jika begini. Aku berguling di tempat tidur.

Tapi ia tak mempedulikanku. Suaranya bergema meneriakkan kehampaan tanpa nama. Jantungku berdegup kencang. Rikuh dibuatnya. Rasa pedih silih berganti, kini ia menangis kembali. Tapi tangisannya tak lagi memekakkan telinga. Lebih menekan. Ya, menekan ulu hatiku. Menyayat tanpa ampun. Rintihannya menggetarkan saraf tangisku.

Pipiku basah. Air mata bangsat yang tak pernah kuinginkan jatuh juga. Aku kalah.