6.4.23

Dialog Mati


Tembok membisu mengamini kehilanganku. Kehilangan sesuatu yang berharga, bukan harta, bukan tahta, bukan nyawa, tapi diriku. Ya, aku kehilangan sesuatuku yang paling berharga. Diriku.
Apakah kau yang merenggutnya? 

Bukan.

Apakah mereka?

Tidak juga.

Aku kehilangan diriku. Aku membunuhnya. Aku membunuhnya dalam keadaan hidup. Ya. Dengan penuh kekejian dan tanpa belas kasih kubunuh diriku dengan tanpa rasa. Ia berteriak minta tolong, tak kupedulikan. Ia meraih tanganku agar tak mendekap napasnya. Aku pun diam. Ia meronta menahan sakit, aku pun diam. Dia menggigil kedinginan, aku membiarkannya beku dan habis. Saat ia terbakar, kubiarkan ia membara hangus. Saat ia menangis tanpa suara, aku tertawa lepas sejadinya.

Ia tak salah. Tapi aku harus membunuhnya. Kadang kebenaran terlalu abu-abu untuk menjadi putih tertutup kelamnya arogansi manusia. Aku ingin menyelamatkan dirinya, tapi eksistensiku lebih penting. Maka tak kupedulikan lagi manusiamu. Maafkan aku, wahai diri. Kuhempaskan kau dalam kubangan terdalam bernama kepentingan manusia.

"Apa bedanya manfaat, bermanfaat, dan dimanfaatkan?"

Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam benakku. Menggerogoti napas dan nadiku. Menjejalkan maut ke dalam ruhku.

Aku tetap tertawa. Ribuan diri telah memasung takdir. Menguji dalam kelas dan fase paling fatamorgana. Dan aku baik-baik saja. Atau aku tak tahu sedang tidak baik-baik saja? Aku tertawa kembali. Namun tak ada yang mendengar tawaku. Hanya dia, diriku yang lain, yang terpuruk dalam cermin gelap dalam memori megabyte tanpa ujung.

Ia menangis sangat keras. Membuat bising telingaku. Hingga kututup daunnya dengan dua tanganku. Tak ada efek. Ia menangis terlalu kencang. Lalu berteriak melebihi sopran. Gendang telingaku bisa pecah jika begini. Aku berguling di tempat tidur.

Tapi ia tak mempedulikanku. Suaranya bergema meneriakkan kehampaan tanpa nama. Jantungku berdegup kencang. Rikuh dibuatnya. Rasa pedih silih berganti, kini ia menangis kembali. Tapi tangisannya tak lagi memekakkan telinga. Lebih menekan. Ya, menekan ulu hatiku. Menyayat tanpa ampun. Rintihannya menggetarkan saraf tangisku.

Pipiku basah. Air mata bangsat yang tak pernah kuinginkan jatuh juga. Aku kalah.


5 komentar:

  1. "Apa bedanya manfaat, bermanfaat, dan dimanfaatkan?"

    Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam benakku. Menggerogoti napas dan nadiku. Menjejalkan maut ke dalam ruhku.

    Nadiva bunga xdpb2/17

    BalasHapus
  2. Aku kehilangan diriku. Aku membunuhnya. Aku membunuhnya dalam keadaan hidup

    Vina Yunita Maharani X DPB 2 /30

    BalasHapus
  3. Pipiku basah. Air mata bangsat yang tak pernah kuinginkan jatuh juga. Aku kalah.


    Nayla islamia
    x DPB 2

    BalasHapus
  4. Yang saya rasakan dipuisi tersebut adalah menyakiti diri sendiri dengan cara memendam rasa benci , dendam ,dan memiliki ego yang sangat tinggi
    Laili eka wirastuti.x dpb 2

    BalasHapus
  5. Ia tak salah. Tapi aku harus membunuhnya. Kadang kebenaran terlalu abu-abu untuk menjadi putih tertutup kelamnya arogansi manusia.

    Diva aprilia elvara_X DPB 2

    BalasHapus

Kirim pesan terbaik Anda untuk pengembangan situs ini!