30.5.13

Goresan Tiga Puluh


Tak tahu harus memulai dari mana. Yang pasti, usiaku kini tak lagi muda, telah kujejaki angka tiga  puluh tahun sejak awal tahun ini. Dan itu tidak mudah. Ada rasa takut dalam hatiku menyerang. Ketidaksiapan menghadapi masa yang disebut ‘tua’. Aku takut tak cantik. Itu saja. Meski tak ada satu pun yang mengatakan tentang ‘cantik’ padaku, kecuali tiga orang. Ibuku, bapak, dan satu lagi om, paman, adik laki-laki ibuku. Bahkan tidak suamiku.

 Aku takut tak ada lagi waktu untuk mengisahkan semuanya. Aku takut waktunya tak cukup lagi. Aku takut tak cukup baik mengingat semuanya. Aku takut, takut masa ‘tua’ itu datang, dan kulupakan semuanya. Tanpa menuliskan apa pun, betapa sakitnya. Namun, jika dituntut sekarang, harus apa dan bagaimana? Aku tak lagi beralur seperti diriku. Aku tak lagi menjadi mimpiku. Aku jauh dari apa aku ingin menjadi!

Kadang, aku tak mengerti apa yang kuinginkan, atau bahkan aku sangat mengerti apa yang kuinginkan? Hingga aku tak sadar melebihi batas yang seharusnya ku terima? Namun benarkah, ini sudah semuanya? Sedangkan masih ada lubang menganga dalam hatiku. Besar, dan membuatku megap-megap kala harus berusaha menutupnya.
Ini bukan hanya masalah uang. Ini bukan masalah egois. Ini bukan hanya masalah ‘aku’. Lalu? Aku pun bisu? Terlalu banyak menuntutkah aku?

Kusaksikan beberapa saat yang lalu drama Korea berjudul Faith. Betapa susahnya menjadi orang menerima bagi manusia seperti Gi Cheol, ada lubang di hatinya, yang bahkan istana raja tak sanggup menutupinya. Ingin dilaluinya pintu langit demi melihat kereta terbang. Ingin dikuasainya dunia di belahan waktu yang lain, bahkan ingin digantikannya dewa dengan inginnya.

Tapi aku tak begitu. Aku tak segila Gi Cheol, aku tak menginginkan istana. Juga tak ingin dunia. Aku hanya ingin bahagia dengan definisi manusia pada umumnya. Setidaknya anak yang berbakti. Tahukah Kau apa ukuran berbakti bagi seorang anak pada ibunya? Tahukah Kau apa ukuran berbakti bagi seorang menantu pada bapak-ibu mertuanya? Tahukah kau definisi mengabdi? Pada suami? Mengabdi pada buah hati? Mengabdi pada negara? Mengabdi pada cita-cita? Sampai di mana? Aku belum melakukan apa-apa. Aku seorang anak. Aku seorang menantu. Aku seorang isteri. Aku seorang ibu. 

Aku seorang guru. Aku seorang pemimpi. Yang sangat tinggi, bahkan jika kukatakan aku tak tahu di mana langit ke tujuh berada, aku tetap ingin menggantung mimpiku di sana. Agar seluruh penghuninya tahu dan ikut membaca. Setiap pesan dan ingin hatiku. Biar semua penduduknya ikut berdoa. Biar semua ikut mengamini setiap ejanya. Biar Ia mengabulkannya. Dan aku tak pernah lupa. Aku seorang hamba. Milik-Nya.

Bila kueja kata hamba, maka bersujudlah manusia kecil ini di hadapannya. Laksana sebiji pasir di tengah gurun. Maka kudapati jawaban pasti, suami tempat sujudku. Bilamana suami ku itu? Yang harusnya kuturut. Dengan langkahnya kuikut. Dengan hatinya harusnya aku berpaut. Namun tiada berasa. Dimana hatiku berada?

Maka ku imani saja. Ku ikuti titah Tuhan, dengan menjadi sebaiknya. Anak yang. Aku seorang menantu. Aku seorang isteri. Aku seorang ibu. Aku seorang guru.

Karya Seorang Ibu dan Teman Seperjuangan

0 comments:

Posting Komentar

Kirim pesan terbaik Anda untuk pengembangan situs ini!