Aku takut tak ada lagi waktu untuk mengisahkan
semuanya. Aku takut waktunya tak cukup lagi. Aku takut tak cukup baik mengingat
semuanya. Aku takut, takut masa ‘tua’ itu datang, dan kulupakan semuanya. Tanpa
menuliskan apa pun, betapa sakitnya. Namun, jika dituntut sekarang, harus apa
dan bagaimana? Aku tak lagi beralur seperti diriku. Aku tak lagi menjadi
mimpiku. Aku jauh dari apa aku ingin menjadi!
Kadang,
aku tak mengerti apa yang kuinginkan, atau bahkan aku sangat mengerti apa yang
kuinginkan? Hingga aku tak sadar melebihi batas yang seharusnya ku terima?
Namun benarkah, ini sudah semuanya? Sedangkan masih ada lubang menganga dalam
hatiku. Besar, dan membuatku megap-megap kala
harus berusaha menutupnya.
Ini
bukan hanya masalah uang. Ini bukan masalah egois. Ini bukan hanya masalah
‘aku’. Lalu? Aku pun bisu? Terlalu banyak menuntutkah aku?
Kusaksikan
beberapa saat yang lalu drama Korea berjudul Faith. Betapa susahnya menjadi orang menerima bagi manusia seperti
Gi Cheol, ada lubang di hatinya, yang bahkan istana raja tak sanggup
menutupinya. Ingin dilaluinya pintu langit demi melihat kereta terbang. Ingin
dikuasainya dunia di belahan waktu yang lain, bahkan ingin digantikannya dewa
dengan inginnya.
Tapi
aku tak begitu. Aku tak segila Gi Cheol, aku tak menginginkan istana. Juga tak
ingin dunia. Aku hanya ingin bahagia dengan definisi manusia pada umumnya.
Setidaknya anak yang berbakti. Tahukah Kau apa ukuran berbakti bagi seorang
anak pada ibunya? Tahukah Kau apa ukuran berbakti bagi seorang menantu pada
bapak-ibu mertuanya? Tahukah kau definisi mengabdi? Pada suami? Mengabdi pada
buah hati? Mengabdi pada negara? Mengabdi pada cita-cita? Sampai di mana? Aku
belum melakukan apa-apa. Aku seorang anak. Aku seorang menantu. Aku seorang
isteri. Aku seorang ibu.
Aku seorang guru. Aku seorang pemimpi. Yang sangat
tinggi, bahkan jika kukatakan aku tak tahu di mana langit ke tujuh berada, aku
tetap ingin menggantung mimpiku di sana. Agar seluruh penghuninya tahu dan ikut
membaca. Setiap pesan dan ingin hatiku. Biar semua penduduknya ikut berdoa.
Biar semua ikut mengamini setiap ejanya. Biar Ia mengabulkannya. Dan aku tak
pernah lupa. Aku seorang hamba. Milik-Nya.
Bila
kueja kata hamba, maka bersujudlah manusia kecil ini di hadapannya. Laksana
sebiji pasir di tengah gurun. Maka kudapati jawaban pasti, suami tempat
sujudku. Bilamana suami ku itu? Yang harusnya kuturut. Dengan langkahnya
kuikut. Dengan hatinya harusnya aku berpaut. Namun tiada berasa. Dimana hatiku
berada?
Karya Seorang Ibu dan Teman Seperjuangan
0 comments:
Posting Komentar
Kirim pesan terbaik Anda untuk pengembangan situs ini!