30.5.13

Kupaksa Ingat!



Ku paksa ingat!
(by Me, on same day)
Pertama tulisan padamu
Acuhmu, lintasiku, XLR di tangan
Kami perlu pertolongan, acuh saja! Dasar! Ku umpat!
Hingga tiba saat kujatuhkan tangan di pundak dan lupa!

Kau cari tenda dan ku…
PPGD, fotografi, dan kecap… tahan ID card-ku
ulur sapa, jabat, kenalkan….
Perpisahan  dengan tinta kau titipkan
Ku terpesona
Tanpa ku tahu yang hakikatnya
Kita jumpa setelah tiga tahun lamanya
Jembatan mereka
Kutentukan arah, kau sebut barat untuk-q
Namun tak untuk ikut arah mu
Kau datang
At a little part of my 4 years
My study

Harusnya ku tahu dari awal bukan hanya ku
Hingga terluka
Ku sadari benar ternyata bukan hanya aku
Lagi terluka
Pernah ku sadar bukan hanya aku
Dan terluka

Tawaran akad mu hanya gertak saja!
Meski aku bergetar, berdebar, MARAH, tumpah ruah…
Ku lepas juga
13 tahun yang lalu…
Aku tersenyum pada hati ku,
Sangat malu…
Hati dan bibir ku bergetar
Aku hanya mainan mu….

Edisi 30 Mei 2013

"Demi-Nya & Mu"



Tuesday, on April 17th 2012
Demi bait yang ku tulis
Tiada namamu hilang
kembali ingatan
masa itu…
indah…

kurangkai lagi puzzle-puzle ingatan
tak bisa ku ingat tiap-tiap detil
namun kau ada
satu, dua, hampir tiga tahun kau ada dalam tulisan
dengan kesengajaan
dalam api
kusebut taat

api itu masih ada
dendam dan amarah
dan selaksa makna
tak ingin ku padamkan

kubayangkan hidup bila kau kini
kini ku bukan aku sekarang
apa jadiku nanti dan kini bila kau sekarang
akankah ku kini dengan mu sekarang?
Kuandai hidup bila kau nanti
Terbang laying bila kau tinggi
Akankah ku kini benar-benar aku sekarang?
Mungkinkah kini menjadi mu sekarang?
Sedang ku tahu kau kini tak miliki ku sekarang
Dia kini sisi ku sekarang
Renda suka, dan segelombang duka dia sekarang
Meski kau tak hilang sekarang
Kau ada dulu, hingga kini
Meski kini dia di hati sekarang
(Untuk mu, by Me)

Goresan Tuhan



Allah, aku tak bersedih karena apa. Aku bersedih untuk diriku sendiri. Aku merasa kurang, bukan karena kekurangan, tetapi karena kurangnya aku. Allah mungkin aku terlalu menuntut banyak, sedangkan aku belum layak kau beri banyak
Allah, sering dalam relungku, aku merasa sendiri. Kesepian. Bukan hanya menegur, aku ingin ditegur. Bukan hanya menyapa, aku ingin disapa. Kadang aku merasa benci, ujungnya yang kubenci adalah diriku sendiri.
Allah, Kau selalu ada, mengapa begitu sukarnya aku mengucap syukur. Telah kuhitung, dan benar tak dapat kuhitung nikmatmu, namun kesukaran demi kesukaran tetap saja kuanggap gelap segala. Seperti tak ada pintu. Meski kau ada, ku tahu.
Allah, apa yang kau gariskan padaku, setingginya adalah pilihanku. Dan itu dengan izinmu. Betapa sayangnya kau padaku hingga detik ini kau curahkan segala padaku.
Allah, selalu ada kecemberuan dalam dadaku manakala hadir suri yang lebih dari pemimpinku. Berlebihankah hujatanku? Manakala aku bersedih maka dengan llidah kubunuh semua hati. Terlalu kejamkah aku?
Allah, sebenarnya apa yang kuinginkan? Sedangkan darahku sendiri tak berat padaku. Kuakui kesalahanku. Lantas apa yang harus kulakukan, kukira yang terbaik. Namun bukan terbaik kini. Baiknya nanti, akankah kurasa baik sekarang?
Allah, aku mulai bermain api, manakala sedih hatiku, tertambat kasihnya bukan sekadar padaku. Rasanya padaku tak beralasan. Berderailah wahai mata air, kala kesedihan bukan karenaku. Sedih rasanya…
Allah, aku ingin menjadi alasan untuk yang terbaik. Aku ingin jadi…
Allah, terlalu banyakkah inginku, hingga aku merasa bahwa tidak terlalu diinginkan.
Allah, benarkah aku tidak benar?
Allah, kau maha dari segala maha, milikmu saja adilnya, maka inginkan aku…
Allah, Kepedihan bukankah untuk menaikkan cintamu padaku? Lantas mengapa sukar?
Allah, di mana kah Engkau?
Allah, adakah kesalahan dalam pintaku, adakah kezoliman dalam doaku? Hingga relungku susah tertambat padamu.
Allah, bolehkah aku bertanya apa yang kau inginkan? Karena aku tak lagi kenal apa yang kuinginkan?
Allah. Bila manusia punya mimpi, maka berilah aku hadiah nyata yang kau sempurnai.
Allah, aku ingin kembali.
Allah, aku ingin kembali
Allah, aku ingin
Allah, aku
Aku. Ingin Allah menginginkan
Aku

Sabtu, 9 februari 2013
Pukul 14.14 waktu dinding yang terlambat

Goresan Tiga Puluh


Tak tahu harus memulai dari mana. Yang pasti, usiaku kini tak lagi muda, telah kujejaki angka tiga  puluh tahun sejak awal tahun ini. Dan itu tidak mudah. Ada rasa takut dalam hatiku menyerang. Ketidaksiapan menghadapi masa yang disebut ‘tua’. Aku takut tak cantik. Itu saja. Meski tak ada satu pun yang mengatakan tentang ‘cantik’ padaku, kecuali tiga orang. Ibuku, bapak, dan satu lagi om, paman, adik laki-laki ibuku. Bahkan tidak suamiku.

 Aku takut tak ada lagi waktu untuk mengisahkan semuanya. Aku takut waktunya tak cukup lagi. Aku takut tak cukup baik mengingat semuanya. Aku takut, takut masa ‘tua’ itu datang, dan kulupakan semuanya. Tanpa menuliskan apa pun, betapa sakitnya. Namun, jika dituntut sekarang, harus apa dan bagaimana? Aku tak lagi beralur seperti diriku. Aku tak lagi menjadi mimpiku. Aku jauh dari apa aku ingin menjadi!

Kadang, aku tak mengerti apa yang kuinginkan, atau bahkan aku sangat mengerti apa yang kuinginkan? Hingga aku tak sadar melebihi batas yang seharusnya ku terima? Namun benarkah, ini sudah semuanya? Sedangkan masih ada lubang menganga dalam hatiku. Besar, dan membuatku megap-megap kala harus berusaha menutupnya.
Ini bukan hanya masalah uang. Ini bukan masalah egois. Ini bukan hanya masalah ‘aku’. Lalu? Aku pun bisu? Terlalu banyak menuntutkah aku?

Kusaksikan beberapa saat yang lalu drama Korea berjudul Faith. Betapa susahnya menjadi orang menerima bagi manusia seperti Gi Cheol, ada lubang di hatinya, yang bahkan istana raja tak sanggup menutupinya. Ingin dilaluinya pintu langit demi melihat kereta terbang. Ingin dikuasainya dunia di belahan waktu yang lain, bahkan ingin digantikannya dewa dengan inginnya.

Tapi aku tak begitu. Aku tak segila Gi Cheol, aku tak menginginkan istana. Juga tak ingin dunia. Aku hanya ingin bahagia dengan definisi manusia pada umumnya. Setidaknya anak yang berbakti. Tahukah Kau apa ukuran berbakti bagi seorang anak pada ibunya? Tahukah Kau apa ukuran berbakti bagi seorang menantu pada bapak-ibu mertuanya? Tahukah kau definisi mengabdi? Pada suami? Mengabdi pada buah hati? Mengabdi pada negara? Mengabdi pada cita-cita? Sampai di mana? Aku belum melakukan apa-apa. Aku seorang anak. Aku seorang menantu. Aku seorang isteri. Aku seorang ibu. 

Aku seorang guru. Aku seorang pemimpi. Yang sangat tinggi, bahkan jika kukatakan aku tak tahu di mana langit ke tujuh berada, aku tetap ingin menggantung mimpiku di sana. Agar seluruh penghuninya tahu dan ikut membaca. Setiap pesan dan ingin hatiku. Biar semua penduduknya ikut berdoa. Biar semua ikut mengamini setiap ejanya. Biar Ia mengabulkannya. Dan aku tak pernah lupa. Aku seorang hamba. Milik-Nya.

Bila kueja kata hamba, maka bersujudlah manusia kecil ini di hadapannya. Laksana sebiji pasir di tengah gurun. Maka kudapati jawaban pasti, suami tempat sujudku. Bilamana suami ku itu? Yang harusnya kuturut. Dengan langkahnya kuikut. Dengan hatinya harusnya aku berpaut. Namun tiada berasa. Dimana hatiku berada?

Maka ku imani saja. Ku ikuti titah Tuhan, dengan menjadi sebaiknya. Anak yang. Aku seorang menantu. Aku seorang isteri. Aku seorang ibu. Aku seorang guru.

Karya Seorang Ibu dan Teman Seperjuangan

Biduk


Ingin kuukir hidup melalui kanvas hidup bernama dunia. Ingin kutoreh lukisan bertajuk alam semesta. Ingin kuwarna tiap titiknya dengan garisan hidupku. Dengan cabang-cabangnya. Atas titahnya, maka jadilah.

Tak ada yang kebetulan di dunia ini. Kukewati masa dengan duka atas tinta-Nya. Kureguk tawa atas ridho-Nya. Kusentuh cinta atas izin-Nya. Ku tercampak atas garis-Nya. Dan aku memilih.

Telah disodorkan pilihan untukkku, dan ternyata kupilih. Dengan keputusan sendiri. Tanpa rekomendasi, tanpa basa-basi. Kuterjang. Demi sebuah kalimat. Harus kutepati.

Pilihan yang setengah hati kutetapkan, hanya demi satu janji. “Siapa pun, dengan penuh keberanian mengetuk rumahku dengan keseriusan, maka kuterima ia…” maka jadilah ia suamiku.

Dan susah. Sangat susah. Tak semudah yang kubayangkan menjadi sesuatu yang berarti. Menjalin ikatan bertajuk rumah tangga. Dan ini telah berlalu tujuh tahun. Setidaknya hampir. Tepatnya 75 bulan. Kurang lebih 2.250 hari ku arungi dengan setiap perpindahan jamnya tidaklah mudah.


Kulewati egoku melalui jalan geragal "mengusir"
Kulewati jalan penghancur "berpisah"
Hidupku berada di jalan bertanda koma. Belum selesai. Mari kita nanti, kita titi cerita di scene selanjutnya

Titipan Karya: Dari Jauh