27.4.13

Nasionalisme dalam Film "Tanah Surga Katanya"

Karya: Arifatul Husna (X Kimia Analisis 1)

Di Pulau Kalimantan yang kaya raya masih ada saja mereka yang hidup dalam keterbelakangan sosial. Ya. mereka adalah warga Indonesia yang hidup di perbatasan Indonesia-Malaysia. Di tinggal oleh pembangunan yang semakin berkembang di Indonesia, mereka menjadi salah satu penduduk yang belum merasakan kemerdekaan yang sebenarnya. Mereka dilupakan oleh para kalangan atas yang menguasai negeri ini. Mereka harus menghadapi dilema nasionalisme antara bertahan menjadi warga Indonesia atau bermigrasi menjadi penduduk Malaysia yang memberi sedikit sokongan ekonomi para warga perbatasan.

                Diceritakan sorang anak bernama Salman yang tinggal dengan kakek, dan adik perempuannya, Salina. Sedang Ayahnya, Haris,  bekerja di Negeri Jiran Malaysia. Kakek Salman yang bernama Hasyim merupakan anggota veteran saat konfrontasi RI-Malaysia berlangsung tahun 1965. Ia harus hidup menjadi pejuang yang dilupakan.

                Suatu hari saat disekolah oleh gurunya, Ibu Guru Astutik, Salman dan teman-temannya disuruh untuk menggambar bendera Indonesia, ternyata masih banyak dari mereka yang belum mengerti bendera Indonesia. Hanya Salina , adiknya yang benar dalam menggambar bendera Indonesia. Saat Salman bertanya pada Salina dari mana engkau mengetahui hal tersebut, ia menjawab bahwa kakeknyalah yang memberitahunya.

                Ayah Salman dan Salina telah pulang dari Malaysia. Ia bermaksud untuk membawa serta kedua anaknya dan kakek Hasyim untuk tinggal di  Malaysia karena alasan ekonomi. Namun Kakek Hasyim tetap setia pada Indonesia dan tidak ingin tinggal di Malaysia. Namun Haris memaksa dan mengaku bahwa ia juga sudah menikah dengan orang Malaysia. Hal tersebut membuat Kakek Salman marah. Ia juga membujuk Salman jika mau ikut ia akan dibelikan mainan pistol-pistolan. Namun pada akhirnya Salman tak ingin ikut dan memilih tetap tinggal di Indonesia untuk menjaga kakeknya. Akhirnya hanya Haris dan Salina yang berangkat.

                Di waktu yang  sama datang dari kota seorang dokter bernama Anwar ke kampung tersebut. Ia menjadi dokter pengganti di kampung tersebut. Ia juga disebut dokter intel karena anak kecil yang membantunya membawakan barang-barangnya saat turun dari perahu. Ia tinggal di rumah kepala dusun, Pak Gani, yang juga ada Astutik yang tinggal disitu. Banyak kendala yang harus dialami oleh dr. Anwar , selain sulit sinyal handphone, rupiah pun tak berlaku disana, disana berlaku uang ringgit (mata uang Malaysia). Bahkan Pak Gani berkomunikasi dengan telepon semacam telepon radio. Selain itu ada warga yang yang menyalah artikan arti dokter, apakah dokter merupakan mereka yang tidak hanya bisa mengobati manusia tapi juga mengobati hewan.

Tiba-tiba hal yang tak terduga terjadi sakit jantung Kakek Salman mendadak kambuh. Salman segera menghubungi Pak Gani, dan dr. anwar siap untuk mengobati. Salman diberi beberapa macam obat untuk diberikan pada kakeknya.

                Salman membutuhkan uang 400 ringgit (warga perbatasan tidak menggunakan rupiah, tapi mata uang ringgit) ia bertanya kepada Ibu Guru Astutik bagaimana mendapatkan uang tersebut. Katanya harus bekerja, lalu Salman pun bertekad untuk bekerja demi mendapatkan uang tersebut. Ia juga harus ke Malaysia bekerja demi uang tanpa sepengetahuan Kakeknya.

                Hari-hari Salman diisi dengan bekerja untuk mencukupi kebutuhan tanpa ada yang tahu. Selain itu ia juga semakin akrab dengan dr. Anwar. Ia banyak bertanya kepada dr. Anwar tentang perkembangan Indonesia. Ia juga banyak belajar tentang nasionalisme kepada sang kakek dan Ibu Guru Astutik. Ketika ia banyak mendengar tentang Indonesia diwaktu itu pula jiwa nasionalismenya tumbuh. Ia semakin bangga terhadap tanah air dan ingin mengetahui Indonesia secara lebih dalam. Ia juga ingin mengetahui keadaan Indonesia di luar kampungnya. Hal tersebut membuat ia semangat untuk belajar, demi cita-cita yaitu membahagiakan kakek dan mensejahterakan warga Indonesia di perbatasan seperti dirinya. Kadang ia juga sedih karena sang ayah belum pernah mengunjungi ia dan kakeknya. Namun ia bertekad suatu saat nanti ia akan membawa ayahnya kembali ke Indonesia.

                Awan kelabu menghiasi langit siang ini, di gubuk yang terbuat dari kayu, terdengar isak tangis. Innalillahi wa ina illaihi rajiun, kakek Salman telah berpulang ke Rahmatullah. Kejadian ini sangat memberatkan hati Salman, Ia ditinggal oleh kakek tercintanya. Saat dikabari ,Ayahnya langsung datang dari Malaysia bersama Salina, mereka langsung menangis saat mengetahui sang kakek telah terbujur kaku. Diantara deretan pelayat, terlihat dr. Anwar, Ibu Guru Astutik dan Pak Gani yang juga memasang wajah kesedihan.

                Selepas 7 hari kakek Salman meninggal, Haris berniat membawa Salman untuk tinggal bersamanya. Namun Salman menolak tawaran sang ayah dan tetap keukeh terhadap pendiriannya. Ia ingin menuruti wasiat kakeknya agar Salman tetap mencintai dan selalu melindungi tanah air. Salman mengadu kepada dr. Anwar dan Ibu Guru Astutik tentang ajakan ayahnya. Salman memohon agar mereka berdua membujuk sang ayah untuk membiarkan  Salman tetap tinggal di Indonesia. Awalnya mereka ragu namun karna mereka berdua begitu bangga terhadap rasa nasioanlisme yang dimiliki oleh generasi bangsa ini, akhirnya mau merundingkan masalah ini dengan ayah Salman.

                Pada awalnya ayah Salman tidak terima akan rekomendasi dr. Anwar dan Ibu Guru Astutik. Disini Salman tidak lagi punya saudara, namun akhirnya dr. Anwar angkat bicara dan akan menanggung semua yang diperlukan Salman dan akan mengajak Salman tinggal dirumah Pak Gani. dr. Anwar menceritakan semua hal yang dimiliki oleh Salman kepada Haris dan Haris memahami hal tersebut, Haris menyadari Salman memiliki sifat yang keras seperti sang kakek. Akhirnya Haris melepaskan Salman untuk tinggal dirumah Pak Gani, namun dengan syarat Salman harus bisa berprestasi dan bersaing dengan anak-anak non daerah perbatasan. Dan Salman berjanji akan belajar sekuat tenaga, agar ia bisa membahagiakan sang ayah dan almarhum sang kakek.

                Kini hari-hari Salman sangat berwarna tinggal bersama dr. Anwar dan Ibu Guru Astutik ilmunya semakin bertambah. Ia kini tak lagi bekerja dan lebih fokus pada pendidikannya. Ia ingin menjadi anak yang berguna bagi nusa dan bangsa. Walau ia hanya anak dari daerah perbatasan yang terbelakang sosialnya. Ia juga mulai mengajak teman-temannya untuk memiliki rasa nasionalisme agar mereka tak mengkhianati Indonesia tercinta ini.

                Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun Salman kini telah tumbuh dewasa, selain pintar ia juga sangat cerdas. Sudah banyak prestasi yang ia raih mulai dari tingkat daerah hingga tingkat nasional. Ia membuktikan bahwa anak pedalaman juga bisa berprestasi. Kini ia sudah berada di bangku kuliah. Ia mendapatkan beasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB). Jika ia selesai kuliah nanti ia bertekad untuk membangun kawasan perbatasan yang layak agar para warganya tetap loyal kepada bangsanya sendiri. Ia juga akan membawa sang ayah kembali menjadi Warga Negara Indonesia.

                Salman telah sadar bahwa nasionalisme merupakan harga mati yang harus dijunjung tinggi walau hidup dalam sebuah pesakitan yang tak berujung, mengadu nasib di negeri sendiri tanpa loyalti, menunggu janji para penguasa negeri yang tak pernah terbukti. Salman bersyukur memiliki orang-orang yang menyayanginya, almarhum kakek Hasyim, dr. Anwar, Ibu Guru Astutik, Ayah, Adik Salina, Pak Gani dan teman-temannya. Dan akan membahagiakan mereka saat sukses nanti. Amiin. Mereka semua adalah generasi Indonesia yang hebat.


-SEKIAN-